-
Di tengah derita dan kesulitan hidup, banyak orang berjuang dan bekerja keras untuk keluar dari masalah hidup yang membelitnya, dan salah satu [...]
Sejenak untuk direnungkan: “JADILAH BERKAT BAGI SESAMAMU HARI INI”
28 Mei 2013 -
Hanya karena pilihan terhadap pasangan hidup yang tidak disetujui oleh sanak-keluarga, maka salah paham dan konflik pun terjadi di antara saudara [...]
Tulisan Berserakan: “DE, JANGAN BIARKAN MAMA MENETESKAN AIR MATA”
24 Mei 2013 -
Beberapa pengalaman akhir-akhir ini menuntunku untuk duduk sejenak di depan laptop pada akhir pekan ini untuk menulis sesuatu untukmu dengan [...]
Sejenak Bijak di Akhir Pekan: “LAYAKKAH AKU DIPERCAYA?”
24 Mei 2013 -
Setelah mendekatkan telinga pada handphoneku yang sementara berdering, terdengar suara sahabatku yang mengeluh tentang diri dan hidupnya; [...]
Surat untuk sahabat: “KAWAN, BANGUNLAH DAN BERJALANLAH BERSAMAKU.”
24 Mei 2013
-
Selesai membaca tulisan singkat saya tentang soal pengkhianatan, seorang teman bertanya lewat inbox: “Romo, gimana kalau karena sebuah [...]
Sejenak Bijak: “ANDA BERHAK BAHAGIA…LEPASKANLAH IKATANMU”
24 Mei 2013 -
Hatimu dan hatiku yang terluka mungkin mengurangi/membatasi cinta kepada yang dia/mereka yang melukai, namun semakin terluka hati Tuhan semakin [...]
Sejenak Bijak: “CINTAILAH SESAMAMU”
24 Mei 2013 -
Segala kenangan indah masa kecil sampai remaja bersama “Mama” kuhempaskan dari hati dan pikiranku. Satu hal yang sangat kuat dalam [...]
Tulisan Berserakan: “KUTINGGALKAN MAMA KARENA “CINTAKU”, KUKEMBALI KEPADA MAMA KARENA “CINTANYA.” (Penuturan pengalaman inspiratif seorang sahabat, yang kurangkai kembali dalam tulisan berserakan untukmu di bulan Maria ini)
13 Mei 2013 -
Setelah seharian membantu – mengurus legalisir Ijazah seorang teman Romo di alma-maternya dan kedutaan RI di Manila, aku akhirnya pulang [...]
Di sebuah grup, ada seorang rekan yang membagikan gambar ini. Belum sampai membaca rinci, saya agak tergelitik untuk tidak berkomentar pada judul yang diberikan. Tertera dalam gambar tersebut, frasa “Misa Akbar”. Sejenak saya mengernyitkan dahi. Tapi setelah saya membaca isinya, saya lalu menerka-nerka beberapa kemungkinan. 1. Saya menduga bahwa kata “akbar” dipilih untuk menyatakan “kemegahan” atau “kebesaran” acara yang dimaksud (dalam hal ini : misa). Namun yang menjadi pertanyaan saya adalah apakah benar perlu disebut “Misa Akbar”? Sepengetahuan saya, kata “Misa” berasal dari kata-kata terakhir yang diucapkan oleh selebran: “Ite, missa est!” (“Pergilah, kamu diutus!”). Dalam perjalanan waktu, kata “Misa” dalam Gereja Katolik, kemudian sangat erat dikaitkan dengan “Korban Kristus”, sehingga muncul kemudian frasa “Misa Kudus” atau “Korban Misa”. Saya tidak habis pikir, jika kemudian kata “Misa” disandingkan dengan kata “Akbar”. Kita tahu, bahwa umat Katolik tidak perlu menunggu berlama-lama “kedatangan Kristus” (walaupun memang Kristus akan datang kembali untuk kali yang kedua secara definitif). Mengapa demikian? Kristus datang setiap kali kita menyambut Komuni. Lebih lanjut jika ini memang kita maknai sebagai kedatangan, sebenarnya pikiran kita seharusnya sedikit banyak mengenang kedatangan-Nya yang pertama. Kedatangan-Nya yang pertama sama sekali bukan peristiwa yang “akbar”. Kedatangan-Nya memang diwartakan oleh barisan malaikat pemuji Allah di langit, namun inti peristiwa kedatangan-Nya yang pertama sama sekali jauh dari kesan “akbar”. Bukankah kelahiran-Nya terjadi di dalam kandang hina? Bukankah kita terpaku ketika kita menyanyikan “Malam kudus…sunyi senyap…”? Maka agaknya, terjadi, meminjam istilah Jaya Suprana, suatu kelirumologi dalam padu padan kata “Misa” dan “Akbar”. 2. Saya menduga bahwa kata “akbar” dipilih sebagai sinonim kata “raya” sehubungan karena “Misa” yang dimaksud adalah dalam rangka “merayakan” pembukaan dan penutupan bulan Maria. Namun demikian, apakah benar-benar perlu bahwa kata “misa” dan “akbar” disandingkan dalam konteks ini? Agaknya kita perlu kembali memantapkan pengertian kita tentang Ekaristi, yang berasal dari bahasa yunani, yang berarti suatu “(perayaan) ucapan syukur”. Kiranya dalam konteks ini, kita mengerti bahwa sesuatu yang bersifat “syukuran” adalah sudah pasti merupakan suatu peristiwa sukacita, suatu “perayaan”. Jadi bagaimana? Gereja memiliki frasa lain untuk menyebut “Misa Kudus”, yaitu “Perayaan Ekaristi”. Menurut hemat saya, frasa ini sangat jauh lebih tepat dari pada “Misa Akbar”. “Ekaristi” sendiri sudah berarti “syukuran” dan kata “perayaan” menambah lagi makna sukacita dalam kata Ekaristi. Jika kita perhatikan pula, jika kita memakai kata “Perayaan Ekaristi”, maka sebenarnya kesan “akbar” dalam konteks “raya” sudah amat sangat termaktub di dalam frasa ini – dan tentunya jauh lebih baik. Dalam frasa “Perayaan Ekaristi” selain sukacita dan sifat “raya” yang sudah sangat tersirat, sebenarnya ada sesuatu yang lebih dalam. Jika kita katakan “Perayaan Ekaristi” maka ada beberapa pertanyaan yang bisa digali. a. Perayaan apa? Ekaristi >>> Di sini tersirat bahwa yang kita lakukan bukan perayaan duniawi namun ada motif yang lebih mendalam, yaitu suatu “Ekaristi”, suatu “ucapan syukur” kepada Allah. b. Siapa yang merayakan? GEREJA. >>> Inilah sebabnya akan jauh lebih baik untuk tidak menggunakan frasa semacam “Misa Akbar”, karena dengan mengatakan “Perayaan Ekaristi”, sebenarnya secara tersirat kita mau menyatakan bahwa ada subyek yang merayakan, yaitu Gereja, yang tidak bisa hidup tanpa Ekaristi. Jadi bagaimana? Menurut hemat saya pencantuman frasa “Misa Akbar” merupakan sesuatu yang terkesan dipaksakan. Frasa “Perayaan Ekaristi” sudah merupakan frasa tepat yang padat makna. Selain penggunaan frasa “Misa Akbar”, saya sungguh tergelitik melihat kata UJUB. Dalam bahasa indonesia yang benar, padanan untuk INTENSI adalah UJUD (DOA), dan bukan UJUB. Saya lebih tergelitik untuk berkomentar, setelah saya melihat kalimat “prosesi pembakaran ujub”. Ini adalah suatu “kelirumologi” yang lain lagi, namun biarlah saya bahas sekaligus di sini. Saya pribadi sungguh tidak tahu konsep “prosesi pembakaran kertas ujud misa” ini datang dari mana. Sempat terbesit dalam pikiran saya bahwa ini adalah “turunan” budaya Tionghoa, yang membakar rumah-rumahan dan uang kertas pada upacara pemakaman agar benda fana itu akhirnya sampai di “alam sana”. Apakah prosesi ini dilatarbelakangi konsep semacam itu, saya tidak tahu. Namun demikian, Gereja Katolik sebenarnya sudah mempunyai “sarana” liturgi yang dapat memfasilitasi penyampaian doa kepada Yang Di Surga. Jika memang ini yang sungguh ingin ditekankan pada “misa akbar” tersebut, mengapa tidak menggunakan wiruk berdupa? Asap dupa yang membubung dari wiruk sudah merupakan gambaran doa-doa Gereja (bahkan ketiga bentuk Gereja, yatu Gereja Jaya, Gereza Peziarah, dan Gereja Menderita). Ini menurut saya, sudah lebih dari cukup. Maknanya pun sudah sangat dalam, yaitu penyatuan doa-doa kita dengan keseluruhan doa Gereja. Dari sinilah kita bisa tahu bahwa Ekaristi akhirnya memang tidak pernah merupakan tindakan pribadi, namun selalu adalah tindakan Gereja. Saya rasa, pembakaran kertas ujud misa, tidak dapat menandingi keluhuran makna simbolik ini. Kelihatannya memang pemilihan kata (dan istilah) yang tepat itu merupakan sesuatu yang sepele. Namun demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa ketepatan pemilihan kata bisa menjadi tolak ukur sejauh mana pemakai bahasa mengerti konsep dari kata yang ia pilih. Jika ini berlaku dalam dunia sekular, maka lebih-lebih menyangkut “hal-hal rohani”. Namun demikian, saya masih percaya bahwa para imam pasti berusaha keras agar umat mengenali, mencintai, dan menghidupi imannya dengan “baik dan benar”. Akhir kata, semoga tulisan ini benar-benar bermanfaat untuk membangun –dan memang hanya ini tujuan saya.Selamat menyambut datangnya Bulan Maria bagi umat paroki penyelenggara dan bagi kita semua. Salam bahasa persatuan, bahasa Indonesia!
13 Mei 2013
-
Mungkin akhir tahun lalu, seorang teman memposting tentang buku terbaru karya Romo FX.Sugiyana, Pr. yang berjudul: “SMS UMAT.” [...]
“ADA APA DENGAN BUKU “SMS UMAT?” Pengantar
13 Mei 2013 -
Orang-orang Kristen dulu (terutaman santo dan santa) meninggalkan kekayaan mereka (membagikan kepada orang miskin) lalu mengikuti Yesus karena [...]
Sejenak Bijak: “MENGAPA ENGKAU MENJUALKU?” Kudengar rintihan-Nya: “Mengapa engkau menjual-KU?”
9 Maret 2013